Minggu ke 4: Manusia dan cinta kasih



Nama          : Rinda Viananda Zalikha
Kelas           : 1KA23
Npm            : 1B116003
Dosen          : Junaedi Abdillah
Mata Kuliah      : Ilmu Budaya Dasar



SATUAN ACARA PERKULIAHAN
UNIVERSITAS GUNADARMA

Manusia dan cinta kasih

·        Minggu ke 4:
1.     Pengertian cinta kasih
2.    Cinta menurut ajaran agama
3.    Kasih sayang
4.    Kemesraan
5.    Pemujaan
6.    Belas Kasihan
7.    Cinta kasih erotis


PENGERTIAN CINTA KASIH
Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) saying (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih artinya perasaan saying atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan. Dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehinga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasih.
Walaupun cinta kasih mengandung arti hamper bersamaan, namun terdapat perbedaan juga antara keduanya. Cinta lebih mengandung pengertian mendalamnya rasa, sedangkan kasih lebih keluarnya; dengan kata lain bersumber dari cinta yang mendalam itulah kasih dapat diwujudkan secara nyata.
Cinta memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan yang erat di masyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintah-Nya, dan berpegang teguh pada syariat-Nya.
Pengertian tentang cinta dikemukakan juga oleh Dr. Sarlito W.Sarwono. Dikatakannya bahwa cinta memiliki tiga unsur yaitu keterikatan, keintiman, dan kemesraan. Yang dimaksud dengan keterikatan padalah adanya perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas untuk dia, tidak mau pergi dengan orang lain kecuali dengan dia. Unsur yang kedua adalah keintiman, yaitu adanya kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku yang menunjukkan bahwa antara anda dengan dia sudah tidak ada jarak lagi. Panggilan-panggilan formal seperti bapak, ibu, saudara digantikan dengan sekedar memanggil nama atau sebutan sayang dan sebagainya. Makan minum dari satu piring-cangkir tanpa rasa risi, pinjam meminjam baju, saling memakai uang tanpa merasa berhutang, tidak saling menyimpan rahasia dan lain-lainnya. Unsur yang ketiga adalah kemesraan, yaitu adanya rasa ingin membelai atau dibelai, rasa kangen kalu jauh atau lama tidak bertemu, adanya ucapan-ucapan yang mengungkapkan rasa saying, dan seterusnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut yang menunjukkan segitiga cinta.
Selanjutnya Dr. Sarlito W. Sarwona mengemukakan, bahwatidak semua unsur cinta itu sama kuatnya. Kadang-kadang ada ketereikatannya sangat kuat, tetapi keintiman atau kemesraan kurang. Cinta seperti itu mengandung kesetiataan yang amat kuat, kecemburaannya besar, tetapi dirasakan oleh pasangannya sebagai dingin atau hambar, karena tidak ada kehangatan yang ditimbulkan kemesraan atau keintiman. Misalnya cinta sahabat karib atau saudara kandung yang penuh dengan keakraban, tetapi tidak ada gejolak-gejolak mesra dan orang yang bersangkutan masih lebih setia kepada hal-hal lain dari pada partnernya. Cinta juga dapat diwarnai dengan kemesraan yang sangat menggejolak, tetapi unsur keintiman dan keterikatannya yang kurang. Cinta seperti itu dinamakan cinta yang pincang.
Selain pengertian yang dikemukakan oleh sarlito, lain halnya pengertian cinta yang dikemukakan oleh Dr, Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya manajemen cinta. Cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya penuh gairah, lembut, dan kasih saying. Cinta adalah fitrah manusia yang murni, yang tidak dapat terpisahkan dengan kehidupannya. Ia selalu dibutuhkan. Jika seseorang ingin menikmatinya dengan cara terhormat dan mulia, suci dan penuh taqwa, tentu ia akan mepergunakan cinta itu untuk mencapai keinginannya yang suci dan  mulia pula.

CINTA MENURUT AJARAN AGAMA
Ada yang berpendapat bahwa etika cinta dapat dipahami dengan mudah tanpa dikaitkan dengan agama, tetapi dalam kenyataan hidup manusia masih mendambakan tegaknya cinta dalam kehidupan ini. Disatu pihak lain dalam praktek kehidupan cinta sebagai dasar kehidupan jauh dari kenyataan. Atas dasar ini, agama memberikan ajaran cinta kepada manusia. Dalam kehidupan manusia cinta menempakan diri dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang seseorang mencintai dirinya sendiri. Kadang-kadang mencintai orang lain atau juga istri dan anaknya, hartanya. Atau Allah dan Rasulnya berbagai bentuk cinta ini bisa kita dapatkan dalam kitab suci al-Qur’an.
a.       Menurut agama Islam
1.      Cinta diri
Cinta diri erat kaitanya dengan dorongan menjaga diri. Manusia senang untuk tetap hidup, mengembangkan potensi dirinya, dan mengaktualisasikan diri. Diantara gejala yang menunjukan kecintaan manusia terhadap harta, yang dapat merealisasikan semua keinginanya dan memudahkan baginya segala sarana untuk mencapai kesenangan dan kemewahan hidup (QS,al-“Adiyat,100:8), Namun hedaknya cinta manusia pada dirinya tidak lah terlalu berlebih-lebihan dan melewati batas. Sepatutnya cinta pada diri sendiri ini diimbangi dengan cinta pada orang lain dan cinta berbuat kebajikan kepada mereka.
2.      Cinta kepada sesama manusia
Agar manusia dapat hidup dengan penuh keserasian dan keharmonisan dengan manusia lainya,tidak boleh ia harus membatasi cintanya pada diri sendiri dan egoismenya. Pun hendaknya ia menyeimbangkan cintanya itu dengan cinta dan kasih sayang pada orang-orang lain. Al-Qura’an juga menyeru kepada orang-orang yang beriman agar saling mencintai seperti cinta mereka pada diri mereka sendiri. Dalam serun itu sesungguhnya terkandung pengarahan kepada para mukmin agar tidak berlebih-lebihan dalam mencintai diri sendiri.
3.      Cinta seksual
Cinta erat kaitanya dengan dorongan seksual. Sebab ialah yang bekerja dalam melestarikan kasih sayang,keserasian, dan kerja sama anatar suami dan istri. Ia merupakan faktor primer bagi kelangsungan hidup keluarga.
4.      Cinta kebapakan
Mengingat bahwa antara ayah dengan anak-anaknya tidak terjalin oleh ikatan-ikatan fisiologis seperti yang menghubungkan si ibu dengan anak-anaknya.
5.      Cinta Kepada Allah
Puncak cinta manusia yang paling bening, jernih dan spritual ialah cintanya kepada allah dan kerinduanya kepada-Nya. Tidak hanya dalam shalat,pujian, dan doanya saja,cinta yang iklas seorang manusia kepada allah akan membuat cinta itu menjadi kekuatan pendorong yang mengarahkanya dalam kehidupanya dan menundukan semua bentuk kecintaan lainya. Sebab dalam pandangannya semua wujud yang ada sekelilingnya mempunyai manifestasi dari tuhanya yang membangkitkan kerinduan-kerinduan spritualnya dan harapan kalbunya.
6.      Cinta kepada Rasullah
Cinta kepada rosul yang diutus Allah sebagai rahmah bagi seluruh alam semesta,menduduki peringkat ke dua setelah cinta kepada Allah. Ini karena rosul merupakan ideal sempurna bagi manusia baik dalam tingkah laku,moral,maupun berbagi sifat luhur lainya.

b.      Menurut agama Kristen
1.      Cinta adalah pencipta keindahan terhebat (Tim 2:9-10)
2.      Cinta adalah suatu wujud keinginan ; dalam niat dan tindakan (1 Yoh 3:18)
3.      Cinta harus menjadi dasar dari segala sesuatu (1 Kor 13:3)

c.       Menurut agama Hindu
Cinta adalah perasaan pada kesenangan, kesetiaan, dan kepuasan terhadap suatu objek. Adapun yang menjadi objek dari cinta kasih itu adalah semua ciptaan Sang hyang Widhi Wasa. Tuhan Ynag Maha Esa.

d.      Menurut agama Budha
Dalam bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (Jawa trenso), ruci, dan snehayang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelakatan, yang terjalinantara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
  

KASIH SAYANG
Rasa kasih sayang adalah Rasa yang timbul dalam diri hati yang tulus untuk mencintai, menyayangi, serta memberikan kebahagian kepada orang lain, atau siapapun yang dicintainya. Kasih sayang diungkapkan bukan hanya kepada kekasih tetapi kasih kepada Allah, Orang Tua, keluarga, teman, serta makhluk lain yang hidup dibumi ini.

 Dalam makna lain Kasih Sayang adalah rasa yang didamba setiap insan di dunia, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sebaliknya kasih sayang seorang anak kepada Orang Tuanya. Kasih sayang akan muncul ketika ada perasaan simpatik dan iba dari dalam diri kepada yang dikasihi, namun kemunculan kasih sayang sangat alamiah dan tidak bisa dibuat-buat atau direkayasa. Setiap insan ingin dirinya disayangi, maka sayangilah orang lain juga. karna dengan merasakan sayang itu setiap insan dapat merasakan kebahagian yang hakiki. apabila sifat sayang mulai luntur dan sifat dendam, kebenciannya lebih besar maka akan menjanjikan kehancuran kepada sesuatu bangsa atau masyarakat.

Apabila suatu hubungan cinta diakhiri dengan sebuah pernikahan maka hal ini akan menimbulkan perasaan yang lebih dewasa lagi dan juga menuntut agar suatu hubungan tersebut lebih bertanggung jawab, perasaan inilah yang disebut dengan kasih sayang. Berbicara soal mengenai kasih sayang tentu tak lepas dari cinta. Oleh karenanya antara kasih sayang, cinta dan kemesraan tak bisa pisah-pisahkan meskipun semua beda penegertian, sebab semuanya saling mengaitkan.

Kemesraan
Selain itu pula, kemesraan tak bisa terpisahkan dari kedua hal diatas. Kemesraan berasal dari kata dasar 'mesra', yang artinya perasaan simpati yang akrab. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang telah mendalam. Cinta yang berlanjut menimbulkan pengertian mesra atau kemesraan. Kemesraan adalah perwujudan dari cinta. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia. Kemesraan dapat menciptakan berbagai bentuk seni sesuai dengan kemampuan bakatnya.

Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia. Kemesraan dapat menciptakan berbagai bentuk seni sesuai dengan kemampuan bakatnya. Kasih sayang adalah perasaan sayang, perasaan cinta atau perasaan suka kepada seseorang. Dengan perasaan cinta dan suka kepada seseorang itu berkembang dan mengikat dan membentuk sebuah embrio yang disebut dengan cinta.  

Cinta adalah sebuah perasaan yang diberikan oleh Tuhan pada sepasang manusia untuk saling mencintai, saling memiliki, saling memenuhi, saling pengertian. Dengan cinta yang sudah dibentuk dan terbentuk itu akan menciptakan suatu kemesraan. Kemesraan cintaan membuat orang semakin saling mencintai dan dicintai. Kemesraan adalah hubungan akrab baik antara pria dan wanita yang sedang dimabuk asmara maupun yang sudah berumah tangga. Pada akhirnya dengan perpaduan kasih sayang, cinta dan kemesraan tersebut akan menciptakan suatu keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam menjalin hubungan cinta dengan kekasih kita.

PEMUJAAN
Pengertian Pemujaan
Pemujaan adalah dimana kita memuja atau mengagungkan sesuatu yang kita senangi.Pemujaan dapat dilakukan dalam berbagai aspek seperti memuja pada leluhur,memuja pada agama tertentu dan kepercayan yang ada.seperti Pemujaan pada leluhur adalah suatu kepercayaa bahwa para leluhur yang telah meninggal masih memiliki kemampuan untuk ikut mempengaruhi keberuntungan orang yang masih hidup. Dalam beberapa budaya Timur, dan tradisi penduduk asli Amerika, tujuan pemujaan leluhur adalah untuk menjamin kebaikan leluhur dan sifat baik pada orang hidup, dan kadang-kadang untuk meminta suatu tuntunan atau bantuan dari leluhur. Fungsi sosial dari pemujaan leluhur adalah untuk meningkatkan nilai-nilai kekeluargaan, seperti bakti pada orang tua, kesetiaan keluarga, serta keberlangsungan garis keturunan keluarga.

Pemujaan berasal dari kata puja yang berarti penghormatan atau tempat memuja kepada dewa – dewa atau berhala. Dalam perkembangannya kemudian pujaan ditujukan kepada orang yang dicintai, pahlawan dan Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan kepada Tuhan adalah perwujudan cinta manusia kepada Tuhan, karena merupakan inti , nilai dan makna dari kehidupan yang sebenarnya. Cara pemujaan dalam kehidupan manusia terdapat berbagai perbedaan sesuai dengan ajaran agama, kepercayaan, kondisi dan situasi. Tempat pemujaan merupakan tempat komunikasi manusia dengan Tuhan.

Salah Satu Contoh Pemujaan
Gunung Pucangan, Tempat Keramat untuk Pemujaan Segala Hajat
Setiap malam Jum’at Legi, Gunung Pucangan selalu ramai dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah. Mereka datang ke tempat keramat tersebut dengan berbagai tujuan, dan konon katanya segala permasalahan hidup bisa terselesaikan di Gunung Pucangan, salah satu tempat keramat yang dipercaya oleh masyarakat sekitar. Gunung yang terkenal sebagai tempat keramat ini terletak di Desa Cupak, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasi Gunung Pucangan ini terletak beberapa kilometer dari Sendang Made dimana setiap tahunnya dijadikan tempat untuk ritual wisuda waranggana atau sinden tayub. Lokasinya yang cukup terpencil yaitu harus melewati hutan jati yang amat sepi tidak membuat warga setempat merasa takut. Tetap saja Gunung ini ramai dikunjungi oleh orang yang membawa niat tertentu.
Di tempat keramat ini bisa kita jumpai beberapa sendang, petilasan dan juga makam keramat. Ada sebuah sendang yang bernama Sendang Drajad yang konon kabarnya sendang ini dipercaya mampu meningkatkan derajat seseorang. Kemudian ada Sendang Widodaren yang dipercaya pada zaman dahulu sebagai tempat mandi para bidadari. Masyarakat percaya bahwa jika seorang wanita mandi di sendang widodaren, atau bahkan sekedar membasuh muka di tempat ini maka ia akan nampak awet muda dan aura kecantikannya keluar. Entah dipercaya atau tidak namun itulah mitos yang beredar di sendang widodaren ini.
Di kompleks yang terkenal sebagai tempat keramat ini terdapat juga makam Maling Cluring dan Maling Adiguna yang konon bisa masuk rumah melalui sorot lampu yang keluar dari celah-celah dinding. Kedua maling ini merupakan maling yang budiman, dan dikenal baik hati serta banyak cerita yang mengisahkan kedua maling ini banyak membantu warga sekitar. Diantara banyak makam di kompleks ini, makam yang paling keramat dan termashur adalah makam dari Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga yang memilih menjadi pertama daripada jadi ratu. Hal ini menyebabkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi dua menjadi Kahuripan dan Dhaha.
Menurut penduduk setempat, apabila malam Jumat Legi tiba maka banyak sekali peziarah yang datang ke tempat ini untuk melakukan berbagai ritual dan juga memberikan sesembahan. Ada yang datang membawa nasi ingkung beserta lauk pauknya untuk dikendurikan atau dimakan secara bersama oleh mereka yang kebetulan hadir di tempat keramat itu. Ketika mereka ditanya, ternyata hajat mereka adalah untuk mengirim doa kepada para leluhur, agar keluarga mereka yang sakit cepat disembuhkan. Ada juga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, anaknya cepat lulus kuliah dan lulus sekolah, serta ada yang ingin lancar dalam usaha.
Menurut mbak Tik, salah satu juru kunci wanita yang menjaga tempat keramat tersebut orang datang ke Gunung Pucangan adalah orang-orang yang banyak mengalami masalah. Mulai dari masalah ekonomi, usahanya yang seret, jabatan tidak naik-naik, tak segera mendapatkan jodoh, dan segala permasalahan hidup lainnya. Meski banyak permasalahan hidup, lebih-lebih masalah ekonomi tetapi bukan berarti orang yang kaya tidak turut datang di tempat keramat ini. Mereka justru datang dengan hajat agar usaha dan pekerjaannya semakin mapan dan semakin baik lagi dari sebelumnya.
Menurut sang juru kunci, untuk semakin menambah yakin agar ritual di Gunung Pucangan membuahkan hasil yang maksimal, biasanya para peziarah terlebih dahulu disyaratkan harus mandi atau membersihkan diri mengunakan air di beberapa sendang yang lokasinya ada di sekitar makam Dewi Kilisuci. Setelah ritual membersihkan diri, peziarah bisa menghadap langsung ke makam Dewi Kilisuci dengan diantar oleh jurukunci. Doa pembuka biasanya dilakukan oleh jurukunci, setelah itu peziarah bisa langsung mengungkapkan maksud kedatangannya, baik dengan suara keras atau cukup dalam hati.
Meski begitu, tidak sedikit pula, yang mengungkapkan maksud dan tujuannya sambil disertai bernadzar. Misalnya, jika apa yang akan dilukukan sukses atau berhasil, ia berjanji akan datang lagi sambil mengadakan syukuran. Yang lebih heboh, bahkan pernah ada yang sukses luar biasa lalu kembali datang lagi sambil membawa seekor sapi untuk disembelih di tempat tersebut. Setelah sapi itu disembelih oleh penduduk sekitar yang kebanyakan terdiri dari keluarga jurukunci makam, daging sapi itu lalu dibagi-bagikan sebagai ungkapan rasa syukur anak nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Gunung Pucangan sebagai tempat ziarah yang favorit banyak orang sebenarnya sudah lama terjadi. Sarana dan prasarana yang terus diperbaiki membuktikan jika tempat ini memang sering menjadi jujugan orang yang ingin ngalap berkah. Berhasil tidaknya, memang tergantung masing-masing peziarah. Yang tidak boleh dilupakan saat ritual adalah menata hati agar iklas dan sabar dalam setiap tindak dan prilakunya. Sebab, iklas dan sabar terkadang menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.

Belas kasihan

Belas kasihan, welas asih, atau kepedulian adalah emosi manusia yang muncul akibat penderitaan orang lain. Lebih kuat daripada empati, perasaan ini biasanya memunculkan usaha mengurangi penderitaan orang lain.
Belas kasihan sering kali adalah terjemahan dari kata Ibrani ra·khamimʹ dan kata Yunani eʹle·os (kata kerja, e·le·eʹo). Dengan memeriksa kata-kata ini dan penggunaannya, kita dibantu untuk mendapatkan makna dan nuansa artinya yang lengkap. Kata kerja Ibrani ra·khamʹ didefinisikan sebagai ”bercahaya, mempunyai perasaan hangat karena emosi yang lembut; . . . beriba hati”. (A Hebrew and Chaldee Lexicon, diedit oleh B. Davies, 1957, hlm. 590) Menurut seorang leksikograf bernama Gesenius, ”Gagasan utamanya tampaknya terletak pada tindakan menyayangi, menenteramkan, dan pada keadaan emosi yang lembut.” (A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament, diterjemahkan oleh E. Robinson, 1836, hlm. 939) Kata ini berkaitan erat dengan kata untuk ”rahim” atau dapat memaksudkan ”usus besar”, yang terpengaruh sewaktu seseorang mempunyai perasaan yang hangat dan simpati yang lembut atau rasa kasihan.—Bdk. Yes 63:15, 16; Yer 31:20.
Dalam Alkitab, ra·khamʹ hanya digunakan satu kali oleh manusia terhadap Allah, yaitu ketika sang pemazmur mengatakan, ”Aku akan memiliki kasih sayang [salah satu bentuk ra·khamʹ] terhadap engkau, oh, Yehuwa, kekuatanku.” (Mz 18:1) Dalam hubungan antarmanusia, Yusuf mempertunjukkan sifat ini sewaktu ”emosi batinnya [salah satu bentuk ra·khamimʹ] tergugah” terhadap adiknya, Benyamin, dan ia mulai menangis. (Kej 43:29, 30; bdk. 1Raj 3:25, 26.) Sewaktu dihadapkan pada kemungkinan diperlakukan dengan kejam atau tanpa perasaan oleh penakluk (1Raj 8:50; Yer 42:10-12) atau oleh pejabat dari kalangan berwenang (Kej 43:14; Neh 1:11; Dan 1:9), orang-orang berharap dan berdoa agar mereka mendapat belas kasihan, dengan kata lain, diperlakukan dengan baik, lembut, dan timbang rasa.—Kontraskan dengan Yes 13:17, 18.
Belas Kasihan Yehuwa. Kata Ibrani itu paling sering digunakan untuk menggambarkan cara Yehuwa berurusan dengan umat perjanjian-Nya. Allah yang mengasihani (ra·khamʹ) mereka disamakan dengan wanita yang mengasihani anak-anak buah kandungannya dan dengan bapak yang memperlihatkan belas kasihan kepada putra-putranya. (Yes 49:15; Mz 103:13) Karena bangsa Israel berkali-kali menyimpang dari keadilbenaran dan mengalami keadaan terjepit, mereka sering kali sangat memerlukan bantuan yang penuh belas kasihan. Jika mereka menunjukkan sikap hati yang benar dan berpaling kepada Yehuwa, Ia akan menyatakan keibaan hati, perkenan, dan kemauan baik, meskipun tadinya Ia marah kepada mereka. (Ul 13:17; 30:3; Mz 102:13; Yes 54:7-10; 60:10) Diutusnya Putra-Nya untuk lahir di Israel merupakan bukti datangnya ”fajar” keibaan hati dan belas kasihan ilahi bagi mereka.—Luk 1:50-58, 72-78.
Kata Yunani eʹle·os mengandung sebagian makna yang dimiliki kata Ibrani ra·khamimʹ. Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words mengatakan, ”ELEOS (ἔλεος) ’adalah manifestasi nyata rasa kasihan; si penerima dianggap membutuhkannya, dan si pemberi dianggap memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut’.” Kata kerjanya (e·le·eʹo) umumnya mengandung gagasan tentang rasa ”simpati terhadap kesengsaraan orang lain, dan khususnya simpati yang diwujudkan dalam tindakan”. (1981, Jil. 3, hlm. 60, 61) Oleh karena itu, orang yang buta, kerasukan hantu, berpenyakit kusta, atau yang anak-anaknya sakit, merekalah antara lain yang menimbulkan eʹle·os, pernyataan belas kasihan, rasa iba. (Mat 9:27; 15:22; 17:15; Mrk 5:18, 19; Luk 17:12, 13) Sebagai tanggapan atas permohonan, ”Kasihanilah kami,” Yesus mengadakan mukjizat dan menyembuhkan orang-orang itu. Ia melakukannya, tidak secara mekanis dan tanpa perasaan, tetapi karena ”tergerak oleh rasa kasihan”. (Mat 20:31, 34) Di ayat itu, sang penulis Injil menggunakan salah satu bentuk kata kerja splag·khniʹzo·mai yang berkaitan dengan kata splagʹkhna, yang secara harfiah berarti ”usus”. (Kis 1:18)
Kata kerja ini mengungkapkan perasaan kasihan, sedangkan eʹle·os memaksudkan manifestasi aktif rasa kasihan itu, yaitu tindakan belas kasihan.
1.      Tidak terbatas pada tindakan hukum. Dalam bahasa Indonesia, ”belas kasihan” kadang-kadang mengandung makna menahan diri, misalnya dalam menjatuhkan hukuman, dan hal ini dimotivasi oleh rasa iba atau simpati. Jadi, sering kali terkandung nuansa hukum, misalnya apabila seorang hakim memberikan klemensi (keringanan hukuman) kepada pelaku kesalahan. Karena belas kasihan Allah selalu diterapkan selaras dengan sifat-sifat-Nya yang lain dan standar-standar-Nya yang adil-benar, termasuk keadilan serta kebenaran-Nya (Mz 40:11; Hos 2:19), dan karena semua manusia mendapat warisan dosa dan pantas menerima upah dosa berupa kematian (Rm 5:12; bdk. Mz 130:3, 4; Dan 9:18; Tit 3:5), jelaslah bahwa belas kasihan Allah sering kali mencakup pengampunan kesalahan, atau peringanan hukuman. (Mz 51:1, 2; 103:3, 4; Dan 9:9; Mi 7:18, 19) Akan tetapi, dapat terlihat dari keterangan sebelumnya bahwa kata Ibrani dan kata Yunaninya (ra·khamimʹ; eʹle·os) tidak terbatas pada tindakan mengampuni atau menahan pelaksanaan sanksi hukum. Pengampunan kesalahan itu sendiri bukan belas kasihan yang umumnya digambarkan oleh kata-kata ini, tetapi pengampunan membuka jalan untuk belas kasihan. Ketika menyatakan belas kasihan, Allah, tentu saja, tidak pernah mengabaikan standar-standar keadilan-Nya yang sempurna, dan untuk alasan itulah Ia telah memberikan korban tebusan melalui Putra-Nya, Yesus Kristus, sehingga pengampunan dapat diberikan tanpa melanggar keadilan.—Rm 3:25, 26. Jadi, belas kasihan sering kali tidak mengartikan tindakan negatif, yaitu menahan (misalnya hukuman), tetapi tindakan positif, pernyataan perhatian yang baik hati atau rasa kasihan yang memberikan kelegaan kepada orang-orang yang tidak beruntung, yang membutuhkan belas kasihan. Hal ini diilustrasikan dengan baik dalam parabel Yesus tentang orang Samaria yang melihat seorang korban perampokan terkapar di pinggir jalan dalam keadaan babak belur. Ia menjadi ”sesama” bagi orang itu karena tergerak oleh rasa kasihan dan ia ”bertindak dengan penuh belas kasihan kepada dia”, mengobati luka-lukanya dan merawat dia. (Luk 10:29-37) Hal ini tidak ada hubungannya dengan pengampunan kesalahan atau proses pengadilan.
Oleh karena itu, Alkitab memperlihatkan bahwa belas kasihan Allah Yehuwa bukanlah sifat yang hanya berperan jika orang-orang, seolah-olah, ”sedang diadili” oleh-Nya karena telah melakukan kesalahan tertentu. Sebaliknya, belas kasihan adalah salah satu karakteristik kepribadian Allah, reaksi-Nya yang wajar terhadap orang-orang yang membutuhkan, salah satu segi kasih-Nya. (2Kor 1:3; 1Yoh 4:8) Ia tidak seperti allah-allah palsu bangsa-bangsa—tak berperasaan dan tidak beriba hati. Sebaliknya, ”Yehuwa itu murah hati dan berbelaskasihan, lambat marah dan besarlah kebaikan hatinya yang penuh kasih. Yehuwa itu baik kepada semua orang, dan belas kasihannya ada bagi segala hasil karyanya.” (Mz 145:8, 9; bdk. Mz 25:8; 104:14, 15, 20-28; Mat 5:45-48; Kis 14:15-17.) Ia ”kaya dengan belas kasihan”, dan hikmat yang berasal dari-Nya ”penuh belas kasihan”. (Ef 2:4; Yak 3:17) Putra-Nya, yang menyingkapkan pribadi seperti apa Bapaknya itu (Yoh 1:18), memperlihatkan sifat ini melalui kepribadian, tutur kata, dan tindakannya. Sewaktu orang banyak datang untuk mendengarkan dia, dan bahkan sebelum melihat reaksi mereka terhadap apa yang akan ia katakan, Yesus sudah ”tergerak oleh rasa kasihan [salah satu bentuk splag·khniʹzo·mai]” karena mereka ”dikuliti dan dibuang seperti domba-domba tanpa gembala”.—Mrk 6:34; Mat 9:36; bdk. Mat 14:14; 15:32.
2.      Kebutuhan umat manusia. Sudah jelas bahwa cacat manusia yang mendasar dan terbesar adalah akibat dosa warisan dari bapak leluhur mereka, Adam. Jadi, seluruh umat manusia berada dalam keadaan mengenaskan dan sangat membutuhkan pertolongan. Allah Yehuwa telah bertindak dengan belas kasihan terhadap umat manusia secara keseluruhan dengan memberikan sarana bagi mereka untuk terbebas dari cacat besar itu dan akibat-akibatnya berupa penyakit dan kematian. (Mat 20:28; Tit 3:4-7; 1Yoh 2:2) Sebagai Allah yang berbelaskasihan, Ia bersabar karena ”ia tidak ingin seorang pun dibinasakan tetapi ingin agar semuanya bertobat”. (2Ptr 3:9) Yehuwa ingin berbuat baik kepada semua, Ia cenderung melakukan hal itu (bdk. Yes 30:18, 19), Ia ’tidak senang akan kematian orang fasik’, dan ”bukan dari hatinya sendiri ia membuat putra-putra manusia menderita”, misalnya sewaktu Yehuda dan Yerusalem dibinasakan. (Yeh 33:11; Rat 3:31-33) Karena orang-orang keras hati, keras kepala dan tidak mau menanggapi kemurahan hati dan belas kasihan-Nya, Ia terpaksa mengambil haluan yang berbeda terhadap mereka, yaitu ”menutup” aliran belas kasihan-Nya bagi mereka.—Mz 77:9; Yer 13:10, 14; Yes 13:9; Rm 2:4-11.
3.      Tidak bisa dianggap sebagai hak. Meskipun Yehuwa sangat berbelaskasihan terhadap orang-orang yang mendekat kepada-Nya dengan tulus, Ia sama sekali tidak akan membebaskan orang yang tidak bertobat dan yang memang pantas dihukum. (Kel 34:6, 7) Seseorang tidak bisa menganggap belas kasihan Allah sebagai hak; ia tidak dapat berdosa tanpa sama sekali dihukum atau dibebaskan dari hasil atau akibat yang wajar dari haluan tindakannya yang salah. (Gal 6:7, 8; bdk. Bil 12:1-3, 9-15; 2Sam 12:9-14.) Yehuwa mungkin dengan belas kasihan bersabar dan berpanjang sabar, memberi orang-orang kesempatan untuk memperbaiki haluan mereka yang salah; meskipun memperlihatkan ketidaksenangan, Ia tidak meninggalkan mereka sama sekali tetapi dengan belas kasihan terus menyediakan bantuan dan bimbingan. (Bdk. Neh 9:18, 19, 27-31.) Tetapi jika mereka tidak memberikan tanggapan, kesabaran-Nya ada batasnya dan Ia akan menarik belas kasihan-Nya dan bertindak terhadap mereka demi kepentingan nama-Nya sendiri.—Yes 9:17; 63:7-10; Yer 16:5-13, 21; bdk. Luk 13:6-9.
4.      Tidak diatur oleh standar manusia. Manusia tidak berhak untuk mencoba menetapkan standar atau kriteria yang harus Allah ikuti dalam hal memperlihatkan belas kasihan. Dari tempat-Nya yang strategis di surga dan selaras dengan maksud-tujuan-Nya yang baik, juga dengan wawasan-Nya yang jauh ke masa depan dan kemampuan-Nya untuk mengetahui isi hati, Ia ’memperlihatkan belas kasihan kepada orang yang kepadanya ia mau memperlihatkan belas kasihan’. (Kel 33:19; Rm 9:15-18; bdk. 2Raj 13:23; Mat 20:12-15.) Di Roma pasal 11, sang rasul membahas pertunjukan hikmat dan belas kasihan Allah yang tak tertandingi dalam hal memberikan kesempatan kepada orang non-Yahudi untuk memasuki Kerajaan surgawi. Orang non-Yahudi tidak menjadi bagian dari bangsa Allah, Israel, dan karena itu tadinya bukan penerima belas kasihan yang dihasilkan oleh hubungan perjanjian dengan Allah; selain itu, mereka hidup dengan tidak menaati Allah. (Bdk. Rm 9:24-26; Hos 2:23.) Paulus menjelaskan bahwa Israel-lah yang pertama-tama mendapat kesempatan itu, tetapi sebagian besar dari mereka ternyata tidak taat. Karena itu, terbukalah jalan bagi orang non-Yahudi untuk menjadi bagian dari ”kerajaan imam dan suatu bangsa yang kudus” yang dijanjikan. (Kel 19:5, 6) Dalam kata-kata penutupnya Paulus mengatakan, ”Sebab Allah telah mengurung mereka semua [orang Yahudi dan orang non-Yahudi] dalam ketidaktaatan, agar ia dapat menunjukkan belas kasihan kepada mereka semua.” Melalui korban tebusan Kristus, dosa Adam yang mempengaruhi seluruh umat manusia dapat disingkirkan bagi semua yang memperlihatkan iman (termasuk orang non-Yahudi), dan melalui kematian Kristus di tiang siksaan kutuk Hukum juga dapat disingkirkan dari orang-orang yang berada di bawahnya (orang Yahudi), sehingga semua orang dapat menerima belas kasihan. Sang rasul berseru, ”Oh, dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah! Betapa tidak terselidiki penghakimannya dan tidak terjejaki jalan-jalannya!”—Rm 11:30-33; Yoh 3:16; Kol 2:13, 14; Gal 3:13.
5.      Mencari Belas Kasihan Allah. Orang-orang yang ingin terus menikmati belas kasihan Allah harus mencari Dia, memperlihatkan keadaan hati yang benar dengan meninggalkan jalan-jalan yang salah dan pikiran-pikiran yang mencelakakan (Yes 55:6, 7); mereka harus memiliki rasa takut yang patut kepada-Nya dan menghargai perintah-perintah-Nya yang adil-benar (Mz 103:13; 119:77, 156, 157; Luk 1:50); dan jika mereka menyimpang dari haluan adil-benar yang selama ini mereka tempuh, mereka tidak boleh mencoba menutup-nutupinya tetapi harus mengakuinya dan menunjukkan pertobatan sejati dan kesedihan sepenuh hati (Mz 51:1, 17; Ams 28:13). Hal lain yang mutlak penting adalah mereka sendiri harus berbelaskasihan. Yesus mengatakan, ”Berbahagialah yang berbelaskasihan, karena mereka akan mendapat belas kasihan.”—Mat 5:7.
6.      Pemberian Belas Kasihan. Orang Farisi memperlihatkan sikap tidak berbelaskasihan terhadap orang lain dan ditegur oleh Yesus dengan kata-kata, ”Maka, pergilah, dan belajarlah apa artinya ini, ’Aku menginginkan belas kasihan, dan bukan korban.’” (Mat 9:10-13; 12:1-7; bdk. Hos 6:6.) Ia mencantumkan belas kasihan di antara perkara-perkara yang lebih berbobot dalam Hukum. (Mat 23:23) Sebagaimana telah dibahas, meskipun belas kasihan dapat mencakup peringanan hukuman, seperti yang mungkin dapat dilakukan oleh orang Farisi, barangkali sebagai anggota Sanhedrin, belas kasihan tidaklah terbatas pada hal itu. Maknanya yang lebih mendasar adalah manifestasi aktif dari rasa kasihan atau keibaan hati, yakni perbuatan-perbuatan belas kasihan.—Bdk. Ul 15:7-11. Belas kasihan ini dapat dinyatakan dengan memberikan hal-hal materi. Tetapi agar berharga di pandangan Allah, pemberian tersebut harus disertai motif yang benar, bukan dengan sifat mementingkan diri. (Mat 6:1-4) Hal-hal materi termasuk di antara ”pemberian belas kasihan [salah satu bentuk e·le·e·mo·syʹne]” yang sering Dorkas lakukan (Kis 9:36, 39); tentunya demikian juga halnya dengan Kornelius yang pemberiannya dan doa-doanya didengar dan diperkenan Allah. (Kis 10:2, 4, 31) Yesus mengatakan bahwa orang Farisi gagal karena tidak memberikan ’hal-hal yang ada di dalam sebagai pemberian belas kasihan’. (Luk 11:41) Jadi, belas kasihan sejati harus keluar dari hati. Yesus dan murid-muridnya khususnya terkenal karena dengan belas kasihan memberikan hal-hal rohani yang jauh lebih berharga daripada hal-hal materi. (Bdk. Yoh 6:35; Kis 3:1-8.) Para anggota sidang Kristen, khususnya pria-pria yang menjadi ’gembala’ sidang (1Ptr 5:1, 2), harus memupuk sifat belas kasihan. Secara materi maupun secara rohani, belas kasihan harus ditunjukkan ”dengan sukacita”, tidak pernah dengan bersungut-sungut. (Rm 12:8) Iman beberapa anggota sidang bisa menjadi lemah, sehingga mereka sakit secara rohani, bahkan hingga taraf menyatakan keragu-raguan. Karena mereka ini berada dalam bahaya mati secara rohani, rekan-rekan Kristen mereka dinasihati untuk tetap memperlihatkan belas kasihan terhadap mereka dan membantu mereka menghindari akhir yang membinasakan. Seraya terus memperlihatkan belas kasihan kepada beberapa orang yang bertindak tidak patut, mereka sendiri perlu berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam cobaan, selalu sadar bahwa mereka tidak hanya harus mengasihi keadilbenaran tetapi juga membenci apa yang jahat. Dengan demikian, belas kasihan mereka tidak berarti menyetujui perbuatan salah.—Yud 22, 23; bdk. 1Yoh 5:16, 17; lihat PEMBERIAN BELAS KASIHAN.
7.      Belas Kasihan Bersukaria atas Penghakiman. Yakobus, sang murid, menyatakan, ”Karena orang yang tidak mempraktekkan belas kasihan akan dihakimi tanpa belas kasihan. Dengan berkemenangan, belas kasihan bersukaria atas penghakiman.” (Yak 2:13) Dari konteksnya jelas bahwa ia sedang mengembangkan gagasan yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai ibadat sejati, termasuk menyatakan belas kasihan dengan memperhatikan orang yang menderita, dan tanpa sikap pilih kasih serta membuat perbedaan dengan mengutamakan orang kaya daripada orang miskin. (Yak 1:27; 2:1-9) Kata-kata berikutnya juga menunjukkan hal itu, karena yang dibahas adalah tentang kebutuhan saudara-saudara yang berada ”dalam keadaan telanjang dan tidak mempunyai cukup makanan sehari-hari”. (Yak 2:14-17) Jadi, kata-katanya itu sesuai dengan kata-kata Yesus, bahwa orang yang berbelaskasihanlah yang akan mendapat belas kasihan. (Mat 5:7; bdk. Mat 6:12; 18:32-35.) Sewaktu menghadapi penghakiman oleh Allah, orang-orang yang telah berbelaskasihan—dengan memperlihatkan rasa kasihan atau keibaan hati, dan memberikan pertolongan yang aktif kepada orang-orang yang berkekurangan—pada gilirannya akan mendapat belas kasihan dari Allah, dengan demikian belas kasihan mereka seolah-olah akan berkemenangan atas penghukuman apa pun yang tadinya ditujukan kepada mereka. Sebagaimana dinyatakan sebuah peribahasa, ”Ia yang mengasihani orang kecil memberikan pinjaman kepada Yehuwa, dan perlakuannya akan dibalaskan kepadanya oleh Dia.” (Ams 19:17) Pokok yang Yakobus kemukakan ini diteguhkan oleh banyak ayat lain.—Bdk. Ayb 31:16-23, 32; Mz 37:21, 26; 112:5; Ams 14:21; 17:5; 21:13; 28:27; 2Tim 1:16, 18; Ibr 13:16.
8.      Belas Kasihan Imam Besar Allah. Buku Ibrani menjelaskan mengapa Yesus, sebagai Imam Besar yang jauh lebih hebat daripada imam mana pun dari garis keturunan Harun, harus menjadi manusia, menderita, dan mati, ”Karena itu, ia wajib menjadi seperti ’saudara-saudara’-nya dalam segala hal, agar ia dapat menjadi imam besar yang berbelaskasihan dan setia dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Allah, untuk mempersembahkan korban pendamaian bagi dosa orang-orang.” Karena telah menderita di bawah ujian, ”ia dapat membantu mereka yang sedang diuji”. (Ibr 2:17, 18) Orang-orang yang menghampiri Allah melalui Yesus dapat melakukannya dengan penuh keyakinan karena mereka memiliki catatan tentang kehidupan Yesus, perkataannya serta perbuatannya. ”Sebab imam besar kita ini bukanlah pribadi yang tidak dapat bersimpati terhadap kelemahan-kelemahan kita, tetapi pribadi yang telah diuji dalam segala hal seperti kita sendiri, namun tanpa dosa. Karena itu, biarlah kita dengan kebebasan berbicara mendekati takhta kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh, agar kita memperoleh belas kasihan dan menemukan kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh untuk mendapat pertolongan pada waktu yang tepat.”—Ibr 4:15, 16.
Tindakan Yesus mengorbankan kehidupannya adalah tindakan belas kasihan dan kasih yang luar biasa. Dalam kedudukan surgawinya sebagai Imam Besar, ia memberikan bukti akan belas kasihannya, misalnya sewaktu berurusan dengan Paulus (Saul), Yesus memperlihatkan belas kasihan kepada Paulus karena ketidaktahuannya. Paulus menyatakan, ”Tetapi itulah alasannya belas kasihan ditunjukkan kepadaku, yaitu agar melalui aku sebagai kasus utama, Kristus Yesus dapat mempertunjukkan segenap kepanjangsabarannya sebagai contoh bagi mereka yang akan menaruh iman kepadanya untuk kehidupan abadi.” (1Tim 1:13-16) Sebagaimana Bapaknya Yesus, Allah Yehuwa, berkali-kali memperlihatkan belas kasihan kepada Israel dengan menyelamatkan mereka dari musuh-musuh mereka, membebaskan mereka dari para penindas, dan membuat mereka hidup damai dan makmur, orang-orang  Kristen juga dapat memiliki harapan yang teguh akan belas kasihan yang akan dinyatakan melalui Putra Allah. Karena itu, Yudas menulis, ”Tetaplah berada dalam kasih Allah, seraya kamu menunggu belas kasihan Tuan kita, Yesus Kristus, sambil menatap kehidupan abadi.” (Yud 21) Belas kasihan Allah yang menakjubkan melalui Kristus menganjurkan orang-orang Kristen sejati untuk tidak menyerah dalam pelayanan mereka tetapi menjalankannya dengan cara yang tidak mementingkan diri.—2Kor 4:1, 2.
9.      Berbelaskasihan terhadap Binatang. Amsal 12:10 mengatakan, ”Orang adil-benar memperhatikan jiwa binatang peliharaannya, tetapi belas kasihan orang-orang fasik itu kejam.” Orang adil-benar tahu apa yang dibutuhkan binatangnya dan mempunyai perasaan terhadap kesejahteraan mereka, sedangkan belas kasihan orang fasik tidak digugah oleh kebutuhan-kebutuhan itu. Menurut prinsip dunia yang mementingkan diri dan tidak berperasaan ini, perlakuan terhadap binatang didasarkan hanya atas keuntungan yang bisa diperoleh. Apa yang orang fasik anggap sebagai pemeliharaan yang memadai sebenarnya mungkin adalah perlakuan yang kejam. (Kontraskan dengan Kej 33:12-14.) Perhatian orang adil-benar terhadap binatangnya sebenarnya hanya meniru cara Allah memelihara binatang sebagai bagian dari karya ciptaan-Nya.—Bdk. Kel 20:10; Ul 25:4; 22:4, 6, 7; 11:15; Mz 104:14, 27; Yun 4:11.
10.  Belas Kasihan dan Kebaikan Hati. Kata-kata lain yang berkaitan erat dan sering dihubungkan dengan kata ra·khamimʹ dan eʹle·os adalah kata Ibrani kheʹsedh (Mz 25:6; 69:16; Yer 16:5; Rat 3:22) dan kata Yunani khaʹris (1Tim 1:2; Ibr 4:16; 2Yoh 3), yang masing-masing berarti ”kebaikan hati yang penuh kasih (kasih yang loyal)” dan ”kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh”. Kheʹsedh berbeda dengan ra·khamimʹ karena menonjolkan pengabdian atau keterikatan yang loyal dan pengasih kepada objek kebaikan hati itu, sedangkan ra·khamimʹ menandaskan perasaan simpati yang lembut atau kasihan. Demikian pula, perbedaan utama antara khaʹris dan eʹle·os adalah bahwa khaʹris khususnya mengungkapkan gagasan tentang pemberian cuma-cuma dan yang tidak selayaknya diperoleh, jadi menekankan kedermawanan dan kemurahan hati di pihak si pemberi, sedangkan eʹle·os menandaskan tanggapan yang penuh belas kasihan terhadap kebutuhan orang-orang yang menderita atau tidak beruntung. Sebagai contoh, khaʹris (kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh) diperlihatkan oleh Allah kepada Putra-Nya sendiri sewaktu Ia ”dengan baik hati [e·kha·riʹsa·to] memberinya nama di atas setiap nama lain”. (Flp 2:9) Kebaikan hati ini tidak dimotivasi oleh rasa kasihan tetapi oleh kemurahan hati Allah yang penuh kasih.

Apa perbedaan antara belas kasihan dan anugerah?
Istilah belas kasihan dan anugerah seringkali membingungkan. Meski memiliki makna yang sama, belas kasihan dan anugerah tidaklah sama pemahamannya. Untuk membedakannya: belas kasihan adalah ketika Allah tidak menghukum kita atas dosa yang telah kita perbuat. Anugerah merupakan berkat Allah yang kita terima, meski sebenarnya kita tidak pantas menerimanya. Belas kasihan membebaskan kita dari penghakiman. Anugerah memperluas jangkauan kebaikan kepada mereka yang tidak layak menerimanya.

"Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!” Ini merupakan permohonan atas belas kasihan Allah untuk menahan penghakiman, yang sebenarnya pantas untuk kita terima, bukannya malah dikaruniakan pengampunan.

Kita tidak layak menerima apapun dari Allah. Allah tidak berhutang apapun kepada kita.Segala hal baik yang kita alami merupakan hasil dari anugerah Allah semata. Anugerah adalah kebaikan yang tidak layak kita terima. Allah memberikan hal baik yang tidak pantas kita terima dan yang tidak pernah kita cari. Bisa diselamatkan dari penghakiman oleh belas kasihan Allah, membuat anugerah menjadi hal yang terpenting dan segalanya bagi hidup kita, bahkan melampaui belas kasihan itu sendiri. Anugerah umum mengacu pada anugerah Allah yang berdaulat yang dilimpahkan kepada semua manusia tanpa memandang status rohani mereka di hadapan-Nya. Anugerah keselamatan adalah dispensasi khusus dari kasih karunia, di mana Allah secara berdaulat melimpahkan pertolongan ilahi kepada orang pilihan-Nya untuk dilahir-barukan dan dikuduskan.

Belas kasihan dan anugerah Allah tergambarkan dengan jelas melalui jalan keselamatan yang tersedia melalui Yesus Kristus. Kita sebenarnya pantas dihukum, tetapi jika kita menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat, kita menerima belas kasihan dari Allah sehingga kita dibebaskan dari penghukuman.Sebagai ganti penghukuman, kita malah menerima anugerah keselamatan, pengampunan dosa, hidup berkelimpahan, dan hidup kekal di Surga, tempat yang paling indah yang bisa dibayangkan. Oleh karena belas kasihan dan anugerah Allah, respon kita seharusnya menjadi tersungkur dan berlutut dalam penyembahan dan ucapan syukur. Karena itu, menyatakan,“Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia,supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.”
 
CINTA KASIH EROTIS
Cinta kasih erotis yaitu kehausan akan penyatuan yang sempurna, akan penyatuan dengan seseorang lainnya. cinta kasih erotis bersifat ekslusif, bukan universal, pertama-tama cinta kasih erotis kerap kali di campurbaurkan dengan pengalaman yang dapat di eksplosif berupan jatuh cinta. Tetapi seperti yang telah dikatakan terlebih dahulu , pengalaman intimitas, kemesraan yang tiba-tiba ini pada hakekatnya hanya sementara.

Keinginan seksual menuju kepada penyatuan diri, tetapi sekali-kali bukan merupakan nafsu fisi belaka, untuk meredakan ketegangan yang menyakitkan. Rupanya keinginan seksual dengan mudah dapat di dicampuri atau di stimulasi oleh tiap-tiap perasaan yang mendalam.
Dalam cinta kasih erotis terdapat eksklusivitas yang tidak terdapat dalam cinta kasih persaudaraan dan cinta kasih keibuan, sering kali eksklusivitas  dalam cinta kasih erotis di salah tafsirkan dan di artikan sebagai suatu ikatan hak milik, contoh sering kita jumpai separang orang-orang yang sedang saling mencintai tanpa merasakan cinta kasih terhadap setiap orang lainya.
Cinta kasih erotis apabila ia benar-benar cinta kasih, mempunyai satu pendirian yaitu bahwa seseorang sunguh-sunguh mencintai dan mengasihi dengan jiwanya yang sedalam-dalamnya dan menerima pribadi orang lain(wanita ataupun pria). Hal ini merupakan dasar gagasan bahwa suatu pernikahan tradisional, yang kedua mempelainya tidak pernah memilih jodohnya sendiri, beda halnya dengan kebudayaan barat/ zaman sekarang, gagasan itu ternyata tidak dapat diterima sama sekali. Cinta kasih hanya di anggap sebagai hasil suatu reaksi emosional dan spontan.


Sumber:
            1.      https://yanuirdianto.wordpress.com/2013/03/28/cinta-menurut-ajaran-agama/    
            2.      https://www.slideshare.net/GunturAbdinegoro/bab-4-manusia-dan-cinta-kasih-62304561
3.      http://desispectryani.blogspot.co.id/2012/04/arti-kasih-sayang-dalam-hidup.html
4.      http://www.kompasiana.com/arnoldbelau/arti-dan-makna-kasihsayang_
            5.      http://toyalab.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-pemujaan.html
            6.      http://sarahabibah.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-pemujaan.html  
            7.      http://www.parapsikologi.co.id/gunung-pucangan-tempat-keramat-untuk-pemujaan-segala-hajat/
            8.      https://id.wikipedia.org/wiki/Belas_kasihan
9.      https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200002994
           10.  https://www.gotquestions.org/Indonesia/belas-kasihan-anugerah.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA INDONESIA 1 (Kalimat Efektif)

PENGERTIAN, CONTOH KATA ABSTRAK DAN KATA KONKRET

Algoritma Dijkstra