MAKALAH “HAK ASASI MANUSIA (HAM)”
PEMBAHASAN MATERI;
Þ
Sejarah Berdirinya HAM
Þ
Kasus Contoh HAM yang berkaitan tentang Pria dan Wanita
BAB
I
PENDAHULUAN
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada
diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu
atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah
HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam
era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era
reformasi dari pada era sebelum reformasi.
Perlu diingat bahwa dalam hal
pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan
orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain
dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Maka dengan
ini penulis mengambil judul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Tenaga
Kerja Diluar Negri Yang Berasal Dari Daerah”.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH BERDIRINYA HAK ASASI MANUSIA
(HAM)
Hak asasi
manusia merupakan hak-hak dasar yang dimilki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau
kebebasan, hak milik dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi
manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia
hakikatnya semata-mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Hak Asasi Manusia menurut Ketetapan
MPR nomor XVII/MPR/1988, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar
yang melekat pada diri manusia secara kodrat, universal, dan abadi sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Meskipun hak asasi manusia
adalah hak yang bersifat kodrati, yang melekat pada diri manusia dari semenjak
manusia dilahirkan, namun keberadaan hak asasi manusia ini tidaklah semata-mata
hadir dengan sendirinya. Kehadirannya terbentuk dari rangkaian sejarah panjang.
Hak asasi manusia yang kita pahami sekarang ini pun perjalanannya masih belum
lagi berakhir. Perkembangan dan dinamikanya masih akan terus bergulir, terus
berlanjut, terus bergerak seiring dengan perkembangan dan dinamika zaman dan
peradaban manusia itu sendiri.
erjadinya penindasan dan
kesewenang-wenangan yang mengakibatkan penderitaan umat manusia, merupakan awal
yang membuka kesadaran tentang konsep hak asasi manusia. Catatan sejarah
menunjukkan hal ini, sehingga menjadi tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah
HAM adalah sejarah korban. Pada mulanya, korban-korban itulah yang menemukan
hak asasi manusia ini.
Setelah hak itu ditemukan, belum
dengan serta merta pula hak itu akan diakui. Harus melalui serangkaian
perjalanan lagi ketika hak yang sudah ditemukan itu untuk bisa diakui. Begitu
pun setelah diakui, masih harus melewati berbagai tahap lagi hingga kemudian
hak-hak itu dikodifikasi. Untuk sampai pada kodifikasi itu pun masih juga
membutuhkan proses yang panjang. Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada tahun 1948. Kelahiran DUHAM itu sendiri tidak
terlepas dari keganasan Perang Dunia II, yang di dalamnya mencatat kejahatan
genosida yang dilakukan oleh rezim Nazi Hitler.
Jika Magna Carta yang dicetuskan
pada tahun 1215 dianggap sebagai tonggak awal dari kelahiran HAM (sebagaimana
yang banyak diyakini oleh pakar sejarah Eropa), maka bisa dibayangkan betapa
panjang dan lamanya proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai kemudian
dikodifikasi oleh DUHAM pada tahun 1948. Begitu pun dalam hal penegakannya
(dihormati, dipenuhi, dan dilindungi). Dibutuhkan 10 tahun agar dua kovenan
utama HAM (Kovenan Hak Sipol dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya) bisa efektif berlaku, dari mulai ditetapkannya tahun 1966 sampai
kemudian efektif diberlakukan pada tahun 1976.
Adapun sejarah perjuangan penegakkan
HAM di Indonesia sendiri, secara sederhana dapat dibagi menjadi empat periode
waktu, yaitu zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan Orde Lama
(1945-1966), periode kekuasaan Orde Baru (1966-1988) dan pemerintah reformasi
(1988-sekarang).
Fokus perjuangan menegakkan HAM pada
zaman penjajahan adalah untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar bisa
terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Sedang pada masa Orde Lama, upaya
untuk mewujudkan demokrasi menjadi esensi yang diperjuangkan. Demikian juga
pada masa Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan yang otoriter. Pada
periode ini, HAM malah kerap ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik dan
kekuasaan. Akibatnya, perjuangan penegakan HAM selalu terbentur oleh dominannya
kekuasaan. Sedangkan pada saat ini, perjuangan menegakkan HAM mulai merambah ke
wilayah yang lebih luas, seperti perjuangan untuk memperoleh jaminan
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Secara legal-formal, Indonesia
sendiri telah membuat langkah-langkah konkret dalam upayanya untuk turut serta
dalam pemajuan dan perlindungan HAM tersebut. Sampai saat ini, Indonesia telah
meratifikasi 6 konvensi internasional, dan pada tahun 2005 yang lalu telah
meratifikasi Kovenan Hak Sipol dan Kovenan Hak Ekosob. Selain itu, dengan telah
diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia pun kini sudah
menjadi hak konstitusional.
PERJUANGAN DUNIA YANG
BERKESINAMBUNGAN UNTUK HAK ASASI MANUSIA
Pergolakan dan Peristiwa Bersejarah
|
Konferensi, Dokumen, dan Deklarasi
|
Institusi
|
Sepanjang Abad ke-17
|
||
|
|
|
Abad ke-18 dan ke-19
|
||
|
|
|
1900 – 1929
|
||
|
|
|
1930 – 1949
|
||
|
|
|
1950 – 1959
|
||
|
|
|
1960 – 1969
|
||
|
|
|
1970 –1979
|
||
|
|
|
1980-1989
|
||
|
|
|
1990 – 2000
|
||
|
|
|
Pengertian Dan Ciri Pokok
Hakikat HAM
1.
Pengertian HAM
Adapun pengertian Hak Asasi Manusia
menurut para tokoh-tokoh lainnya, yaitu :
- Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
- John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
- Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. Ciri Pokok Hakikat
HAM
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di
atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
- HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
- HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
- HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
3. HAM Dalam
Perundang-Undangan Nasional
Dalam
perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat
aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam
ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan
pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden
dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan
HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan
atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di
Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui
amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam
konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM
dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan
HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada
kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
Kasus contoh HAM tentang Pria dan
Wanita
Diskriminasi, penggusuran paksa dan
kekerasan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman perempuan pengungsi di
Aceh. Setidaknya ada 191 kasus pelanggaran HAM perempuan pengungsi, yaitu 38 kasus diskriminasi, 7 penggusuran paksa dan 146 kekerasan. Pengalaman ini bertimpa-timpa pada
perempuan yang juga harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan pengelolaan
bantuan serta kelangkaan bantuan yang memberdayakan perempuan secara utuh, apalagi
bagi perempuan pengungsi akibat konflik. Singkatnya, pelanggaran HAM ini
menjadi bukti terasingnya perempuan di tengah hiruk pikuk desing roda rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh. berbasis jender
merupakan salah satu modus operandi penyalahgunaan kekuasaan/korupsi, dengan
menggunakan sarana paling efektif bentukan budaya patriarki yaitu status
perkawinan perempuan pengungsi. Karenanya, janda dan anak perempuan kepala
keluarga dan belum menikah menjadi kelompok paling rentan praktek diskriminasi
terhadap perempuan pengungsi (50%).
Diskriminasi ini mengambil bentuk
pengabaian, pembedaan dan pembatasan hak pengungsi perempuan atas bantuan,
kesejahteraan, pemberdayaan ekonomi dan hak politik perempuan dalam proses
pemberian dan pengelolaan bantuan kemanusiaan.
Penggusuran paksa terhadap pengungsi
dilakukan atas nama pembangunan dan juga karena pertimbangan estetika hunian
percontohan. Janda menjadi target utama penggusuran paksa; menjadi sarana untuk
mengintimidasi pengungsi lainnya agar
segera pindah. Perempuan yang berusaha bangkit dengan membangun usaha
kecil di lingkungan huntara dianggap merusak pemandangan dan ketertiban hunian
sementara. ). Ini terjadi menjelang peringatan satu tahun tsunami karena akan
dikunjungi petinggi negara dari dalam dan luar negeri.
Kekerasan/serangan seksual mencapai
hampir 74% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan pengungsi di Aceh; 41%
diantaranya mengambil tempat di dalam keluarga. Di lingkungan publik, 41% pelakunya
tidak dikenal oleh korban. Kelompok yang paling rentan serangan seksual (46%)
adalah anak perempuan dan perempuan muda berusia kurang dari 28 tahun. Serangan
seksual mengambil bentuk perkosaan, pelecehan seksual termasuk
pengintipan, eskploitaisi, aborsi paksa,
dan pengucilan dan penganiayaan berdasarkan stigmatisasi seksual dan
seksualitas perempuan. Fenomena eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi
bawah umur menunjukkan adanya indikasi dampak kemiskinan dan warisan represif
konflik bersenjata Aceh.
Pengintipan (70% kasus kekerasan di
ranah publik) bukanlah sekedar tindak usil tetapi invasi terhadap zona aman
perempuan, serangan terhadap tubuh dan seksualitasnya. Pengintipan terkait dengan rendahnya perhatian terhadap
fasilitas di huntara untuk memberikan rasa aman kepada perempuan; seperti pada barak/tenda
yang padat dan penghuni yang kadang tak saling kenal, keamanan WC, kamar barak
/ tenda buruk karena tak dapat dikunci,
berdinding rendah dan berlubang serta minim sarana penerangan.
Keluarga pun bukan tempat yang aman
bagi perempuan pengungsi. Karena jarak
fisik yang terlalu berdekatan antar kamar barak/tenda maka dibutuhkan perluasan
pemaknaan terhadap pelaku kekerasan domestik/personal, yaitu termasuk kerabat
karena persaudaraan dan perkawinan yang tinggal di tempat pengungsian yang
sama. Lebih dari setengah kekerasan terjadi di ranah keluarga, termasuk
kekerasan yang terjadi setelah perempuan diketahui menjadi korban kekerasan seksual.
Lebih 40% dari kekerasan oleh suami hadir dalam bentuk penelantaran dan
pemerasan termasuk merampas jadup dan bantuan bagi istri dan anak-anaknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan. 2004. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
Sadjiman, Djunaedi. 2009. Pendidikan
Kewarganegaraan. Daerah :Tanpa Nama Penerbit.
Sumarsono, dkk. 2006. Pendidikan
kewarganegaraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
http://en.wikipedia.org
Komentar
Posting Komentar